Meski rezim komunis yang berkuasa pada 1945 mengganti mahkota yang ada di kepala elang dengan bintang, namun pada 1990 ketika rezim komunis runtuh, lambang versi lama digunakan kembali dengan tampilan lebih segar.
Indonesia, negara yang berbeda benua dengan Polandia, tidak pernah ‘janjian’ untuk menggunakan jenis elang sebagai lambang negara, meski keduanya terlihat menoleh ke kanan.



Garuda, burung kebanggaan rakyat Indonesia yang mendapat posisi terhormat sebagai lambang negara, dalam kehidupan nyata terlihat sosoknya dalam diri elang jawa (Nisaetus bartelsi).
Dalam Kitab Adiparwa disebutkan bahwa garuda merupakan burung gagah berani yang dijadikan kendaraan Dewa Wisnu. Burung yang berdiam di surga ini diperkenalkan oleh Presiden Soekarno kepada khalayak sebagai lambang negara pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Amerika Serikat pun begitu bangga dengan elang kepala botak (Haliaeetus leucocephalus) sebagai lambang negaranya yang ditetapkan pada 20 Juni 1782. Meski pada awalnya terjadi perdebatan dalam pemilihan lambang tersebut, antara kalkun yang dianggap berkelakuan baik ketimbang elang yang sangar.
Menurut masyarakat Amerika, Bald Eagle merupakan satwa yang cerdas, gagah, dan menggetarkan musuh–sebagaimana umumnya jenis elang. Hal ini terlihat dalam ungkapan “An adroit man is such as an eagle which always hides its claws.” Yang berarti manusia pintar laksana elang yang selalu menyembunyikan cakarnya. Elang pun telah digunakan sebagai simbol sejak tahun 3000 sebelum masehi di Sumeria. Kondisi ini terus berlanjut hingga masa kekuasaan Romawi yang menggunakan elang juga sebagai panji kebesarannya.
Penggunaannya sebagai lambang suatu negara menunjukkan bahwa burung merupakan makhluk terkenal yang mendapat tempat terhormat di kehidupan manusia. Burung pun merupakan makhluk yang dapat dilihat keberadaannya di penjuru bumi. Contoh konkret adalah lebih dari dua puluh negara di dunia menggunakan jenis burung sebagai lambang negaranya. Burung yang dijadikan lambang tersebut tentunya burung yang memang ada dan ditetapkan sebagai kebanggaan.
Bolivia misalnya, selain tiga negara di atas, menjadikan burung kondor andes (Vultur gryphus) sebagai lambang negara. Negara Simon Bolivar ini menganggap bahwa kondor merupakan burung yang mewakili semangat nasionalisme sekaligus simbol kekuatan dan kesehatan. Meski secara mitologi, burung ini dianggap sebagai representasi dewa matahari yang bertugas mengatur alam semesta. Namun, burung pemakan bangkai yang tersebar di wilayah Pegunungan Andes ini merupakan burung kebanggaan masyarakat Bolivia.
Tanpa mempersempit fungsinya sebagai lambang suatu negara pun, sudah dipastikan bahwa burung merupakan makhluk yang banyak memberi manfaat bagi kehidupan manusia dan alam sekitar.Sebut saja jenis elang yang memiliki peran sebagai top predator atau pemangsa puncak dalam siklus rantai makanan.
Selain jenis elang yang memberikan kontribusi yang besar bagi lingkungan, jenis burung lain yaitu rangkong juga memiliki andil besar terhadap regenerasi hutan.




Adanya rangkong di hutan merupakan indikasi bahwa hutan tersebut dalam kondisi baik karena rangkong hanya mau tinggal di pohon yang besar saja. Sebagai burung pemakan buah, rangkong juga turut melakukan kegiatan penyebaran biji. Tanpa campur tangan rangkong, jenis pohon tertentu mustahil akan tetap tumbuh karena induk pohon yang menua mati tanpa penerus.
Para ahli berpendapat bahwa radius terbang seekor rangkong dapat mencapai 100 km persegi. Artinya adalah burung ini dapat menebar biji hingga sejauh 100 km persegi.
Sebagai indikator alami untuk mengetahui apakah suatu kawasan pertanian telah tercemar atau tidak, burung dapat diberikan acungan jempol. Menurut Prof. Ani Mardiastuti, avian ecologist, cara mudah yang dapat diakukan adalah dengan mengambil sampel lemak seekor burung yang ada di wilayah pertanian tersebut. Andai ada kandungan pestisida atau zat kimia dalam lemak, ini adalah indikasi bahwa wilayah tersebut telah tercemar. Karena burung memakan ikan atau invertebrata di wilayah pertanian tersebut. Bila manusia mengkonsumsi makanan di kawasan tersebut sebagaimana burung, otomatis pula mengidap racun.
Alternatif kedua melalui ketebalan cangkang telur. Masuknya zat berbahaya ke tubuh burung akan membuatnya mengendap dalam lemak sehingga diperlukan kalsium untuk menetralkannya. Akibat persentase kalsium yang banyak tercurah untuk menetralkan racun, maka porsi kalsium untuk cangkang telur tidak proporsional. Hasil akhirnya adalah telur cangkang yang dihasilkan begitu tipis sehingga pecah saat dieram.
Burung pun dapat berfungsi sebagai penentu daerah prioritas pelestarian alam. Alasannya adalah makhluk bersayap ini hidup di seluruh habitat daratan dunia, peka terhadap lingkungan, serta taksonomi penyebarannya cukup lengkap. Indonesia, sebagai negara yang memiliki 16 persen jenis burung dari total 10.000 jenis yang ada di dunia, tentunya punya alasan kuat untuk melindungi keragaman jenis yang luar biasa ini.
Andai para pendiri negara di dunia yang menggunakan burung sebagai lambang negara menyadari bahwa burung yang mereka adopsi bukan sekadar supremasi namun memiliki arti penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi, tentu kehidupan burung di dunia ini akan baik-baik saja. Bisa jadi pula, maskot bentuk burung akan bertambah dan mewabah sebagai wujud kepedulian dan perlindungan. So, masih bingung kenapa harus burung?

Penulis : Rahmadi R                                                                                
Foto : Asman A. Purwanto dan Andhy Priyo Sayogo                                  
Tulisan ini adalah hasil dari lomba menulis BuNu 2012

Sumber: Burung-Nusantara